Senin, 10 Februari 2014

Anoman

ANOMAN, tokoh wayang terkenal dalam seri Ramayana, yang dalam Wayang Purwa juga sering muncul dalam kisah-kisah Mahabarata. Ia berujud kera berbulu putih. Ibunya adalah Dewi Anjani, sedangkan ayahnya Batara Guru. Pada saat Ramawijaya mengerahkan bala tentara kera menyerbu Kerajaan Alengka untuk membebaskan Dewi Sinta yang diculik Prabu Dasamuka, Anoman bertindak sebagai salah satu senapati.

Dalam pewayangan, kisah kelahiran Anoman diceritakan sebagai berikut:Ketika suatu saat Batara Guru sedang terbang melalang di atas Telaga Nirmala, ia menyaksikan seorang wanita muda sedang melakukan tapa kungkum. Melihat tubuh wanita muda itu, Dewi Anjani namanya, Batara Guru tidak dapat menahan birahinya dan jatuhlah kama benihnya, menimpa sehelai daun asam muda yang mengapung di permukaan telaga. Daun asam muda yang oleh orang Jawa disebut sinom itu hanyut terbawa arus dan akhirnya tertelan oleh Dewi Anjani. Seketika itu juga Dewi Anjani hamil. Karena merasa tidak pernah disentuh pria, segera Anjani menuntut Batara Guru untuk bertanggung jawab atas kehamilannya. Ternyata pemuka dewa itu tidak mengelakkan tanggung jawab. Ia mengakui bayi yang berada dalam kandungan Anjani sebagai anaknya, dan memerintahkan para bidadari menolong kelahirannya. Bayi itu kemudian diberi nama Anoman.

Kelahiran Anoman ditandai dengan gara-gara yang melanda dunia. Gunung-gunung meletus, badai dan air bah terjadi di mana-mana. Para dewa segera mengutus beberapa bidadari untuk menolong persalinan Dewi Anjani. Sesudah Anoman lahir, para bidadari membawa Dewi Anjani dan bayinya ke kahyangan. Atas perkenan para dewa, sesudah melahirkan anaknya wanita berwajah kera itu berubah ujud menjadi wanita cantik kembali. Selama sisa hidupnya ia pun diperkenankan hidup di kahyangan sebagai bidadari. Batara Guru memberi nama Anoman kepada bayi kera berbulu putih bersih Anoman dan memerintahkan kepada Batara Bayu untuk mengasuhnya. Itulah sebabnya, Anoman juga bernama Bayusuta atau Bayutanaya, Maruti atau Marutaseta. (Selain Anoman, sebutan Bayusuta atau Bayutanaya juga dipakai untuk menyebut Bima. Jadi menurut pewayangan, terutama di Pulau Jawa, Anoman adalah anak Batara Guru yang diasuh oleh Batara Bayu atau Batara Maruta).

Sebagai putra angkat atau anak asuh Batara Bayu, Anoman mengenakan kain Poleng Bang Bintulu Aji dan berkuku Pancanaka. Dalam pewayangan ada Sembilan tokoh yang merupakan "saudara tunggal Bayu". Mereka adalah:
  • Batara Bayu sendiri,
  • Anoman,
  • Bima,
  • Wil Jajahwreka,
  • Begawan Maenaka,
  • Liman Situbanda,
  • Dewa Ruci,
  • Garuda Mahambira,
  • Naga Kuwara.
Versi-versi lainnya:Menurut Kitab Ramayana asli karangan Walmiki, Anoman bukan anak Batara Guru, melainkan anak Dewa Maruta, penguasa angin. Itulah sebabnya ia juga bernama Maruti atau Marutasuta. Sementara menurut Serat Kanda Anoman adalah anak Prabu Ramawijaya dan Dewi Sinta, yang lahir di tengah Hutan Dandaka. sebelum Dewi Sinta diculik Rahwana. Versi Anoman anak Rama-Sinta ini tidak begitu lazim dalam dunia pedalangan di Indonesia.

Pedalangan Jawa Timuran yang banyak terpengaruh Serat Kanda. Kisah kelahiran Anoman di pewayangan Jawatimuran, dimulai pada saat pengembaraan Rama, Dewi Sinta, dan Laksmana di hutan, pada masa pembuangan. Pada saat itu Dewi Sinta telah hamil muda. Suatu ketika, segera setelah Rama dan Dewi Sinta mandi di Telaga Tirta Sumala, dari tubuh mereka keluar bulu-bulu putih.Tanpa diketahui sebabnya, tiba-tiba Dewi Sinta keguguran. Dari rahim Sinta keluar gumpalan darah. Ramawijaya kemudian menyuruh Laksmana membungkus gumpalan darah itu dengan daun lumbu (talas), dengan menyertakan sebelah anting-anting emas miliknya ke dalam bungkusan itu. Bungkusan itu lalu dilempar jauh-jauh oleh Laksmana. Tepat pada saat itu, Batara Guru yang sedang melanglang buana, menangkap bungkusan itu dan membawanya. Beberapa waktu kemudian, ketika dari angkasa Batara Guru melihat seorang wanita dengan tapa ngodok, tanpa busana. Karena terpana melihat keindahan lekuk tubuh wanita itu, tanpa terasa bungkusan yang dipegangnya jatuh tepat di hadapan sang Tapa. Sementara itu, karena birahinya menggejolak, jatuhlah kama benih (mani) Batara Guru, tepat menimpa bungkusan itu.Dewi Anjani, Sang Tapa, segera memakan bungkusan daun talas itu. Maka, hamillah Dewi Anjani. Ketika kemudian lahir, bayi yang berujud kera putih itu dinamai Anjali Kencana.

Sebagaimana tokoh wayang terkenal lainnya, Anoman memiliki banyak nama lain. Ia juga disebut: Anjaniputra, Anjali Kencana, Bambang Senggana, Prabancana, Ramandayapati, Maruti, Marmasuta, Kapiwara, dan Begawan Mayangkara. Nama Anoman yang terakhir ini digunakan ketika Anoman sudah tua, dan hidup sebagai pertapa di Pertapaan Kendalisada.

Tetapi menurut pedalangan gagrak Jawatimuran, nama Anoman baru disandang Setelah ia menjadi utusan Ramawijaya ke Alengka untuk menjumpai Dewi Sinta di Taman Argasoka. Di negara itu ia membunuh senapati raksasa bernama Ditya Kala Anoman, Ditya Kala Ndayapati, dan Ditya Kala Prabancana. Nama-nama raksasa yang mati itu lalu diambil sebagai nama aliasnya. Sebelumnya, ia bernama Anjila Kencana. Setelah dewasa, oleh Batara Guru Anoman diperintahkan turun ke dunia untuk mengabdi pada Ramawijaya yang merupakan titisan Batara Wisnu. Anoman menjumpai Rama dan Laksmana ketika kedua ksatria itu sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Alengka. Saat itu Anoman sedang diperintah Sugriwa raja Guwakiskenda mencari bantuan untuk mengalahkan Subali. Setelah Rama membunuh Resi Subali, Sugriwa menyatakan bersedia membantu usaha Rama membebaskan Dewi Sinta dengan mengerahkan seluruh bala tentara keranya.

Pada waktu Dewi Sinta disekap di Taman Argasoka, Alengka, Ramawijaya mengutus Anoman untuk menemui istrinya secara diam-diam. Kera putih itu berhasil menyelundup masuk dan bertemu muka serta menyampaikan pesan Ramawijaya kepada Dewi Sinta. Sesudah menunaikan tugas pokoknya Anoman sengaja membuat gara-gara dengan membuat kerusakan di lingkungan Keraton Alengka. Prabu Dasamuka segera mengutus putranya, Indrajit, untuk menangkapnya. Dengan panah Nagapasa, yang jika dilepaskan dari busurnya berubah menjadi ribuan ular dan melilit tubuhnya, Anoman tertangkap. Dalam keadaan terikat, Anoman dibakar hidup-hidup. Tetapi justru ketika itulah, dalam keadaan bulunya terbakar, Anoman meloloskan diri sambil membakari Istana Alengka. Peristiwa itu diceritakan dalam lakon Senggana Duta atau Anoman Obong.

Waktu bala tentara Ramawijaya yang terdiri atas pasukan kera menyerbu Kerajaan Alengka, Anoman bertindak sebagai salah seorang senapatinya. Anoman pula yang menindih tubuh Prabu Dasamuka dengan gunung karena raja Alengka itu selalu dapat hidup kembali setelah mati terpanah oleh Ramawijaya. Karena jasa-jasanya membantu Ramawijaya dalam usaha merebut kembali Dewi Sinta dari tangan Dasamuka, Anoman diangkat anak oleh Rama. Karena itu Anoman juga mendapat sebutan Ramandayapati.

Anoman sebenarnya jatuh cinta pada Dewi Trijata, putri Gunawan Wibisana. Wanita cantik itu dijumpainya sewaktu Anoman menjalankan tugas sebagai duta menemui Dewi Sinta di Taman Argasoka di Alengka. Tetapi karena ia tahu bahwa Dewi Trijata sebenarnya berharap dapat menjadi istri Laksmana, Anoman mengurungkan niatnya untuk memperistri Trijata.

Sebelumnya, dalam perjalanan menuju Alengka pahlawan kera berbulu putih itu sempat dirayu seorang bidadari bernama Dewi Sayempraba, putri Batara Wiswakrama. Dewi Sayempraba sesungguhnya adalah salah seorang istri Dasamuka. Untuk mencegah jangan sampai Anoman tiba di Alengka, Dewi Sayempraba mencegatnya dan merayu, kemudian memberinya makanan berupa buah-buahan. Ternyata makanan itu sudah lebih dahulu dibubuhi racun. Akibatnya, setelah makan Anoman menjadi buta dan hilang kekuatannya. Ia hampir pingsan sewaktu seekor burung garuda bernama Sempati datang menolongnya. Anoman disembuhkan dari kebutaan dan diberi petunjuk caranya pergi ke Alengka.

Namun rayuan Dewi Sayempraba sempat membuat bidadari, yang juga istri Dasamuka, itu hamil. Anak yang kemudian lahir juga berujud kera, dinamakan Tringganga atau Triyangga. Versi lain menyebutkan Anoman mempunyai anak Trigangga bukan dari Dewi Sayempraba melainkan dari Dewi Urangayu (sebagian dalang menyebut bukan Urang Ayu melainkan Dewi Urang Rayung) putri Begawan Mintuna. Istri Anoman yang lain adalah Dewi Purwati, yang melahirkan anak bernama Purwaganti.

Dalam cerita pewayangan di Indonesia, Anoman berumur sangat panjang. Menurut Serat Mayangkara ia hidup pada zaman Ramawijaya, zaman Pandawa, dan baru meninggal beratus tahun setelah Prabu Parikesit meninggal, yakni pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kediri. Sedangkan dalam cerita asli Ramayana, Anoman hanya hidup pada zaman Ramawijaya saja.

Ada lagi dalang yang menganut versi bahwa Anoman hidup sepanjang masa, yakni masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Versi ini menyebutkan, Anoman memang ditugasi para dewa untuk menjaga Dasamuka. Raja Alengka ini tidak dapat mati karena memiliki Aji Pancasona yang diwarisinya dari Resi Subali. Karena itu setiap kali Dasamuka mati dan tubuhnya menyentuh bumi, ia akan hidup kembali. Karena itulah untuk menjaga jangan sampai Prabu Dasamuka membuat onar kembali di dunia, Anoman diharuskan tetap hidup selamanya, sampai saat dunia kiamat nanti.

Sebuah versi lain menyebutkan tentang kematian Anoman sebagai berikut:Waktu itu, jauh sesudah selesainya Baratayuda, sewaktu di Pulau Jawa telah berdiri Kerajaan Mamenang (Kediri atau Daha), Anoman pergi ke kahyangan menghadap para dewa. Kepada Batara Guru ia mengatakan sudah bosan hidup di dunia, dan menanyakan kapan ia akan mati. Batara Guru menjawab, belum waktunya. Anoman tidak puas dengan jawaban itu, kemudian berkata, bahwa selama "hidup ratusan tahun, ia telah mendarmabaktikan segala kemampuan dan kesaktiannya untuk kesejahteraan dan keamanan dunia. Kini Anoman menuntut agar permintaannya yang terakhir, yaitu agar ia segera mati, dipenuhi oleh para dewa. Batara Guru menjawab: "Baik! Tetapi engkau lebih dahulu masih harus menjalankan sebuah tugas lagi, yaitu menjodohkan ketiga orang putra Prabu Sriwahana (sebagian dalang menyebut Prabu Sriwahana dengan sebutan Prabu Sariwahana) dari Kerajaan Yawastina."

Dalam pelaksanaan tugas itu nanti, menurut Batara Guru, Anoman akan gugur. Karena, seorang ksatria agung seperti Anoman tidak layak bila mati di tempat tidur. Para dewa memutuskan, Anoman harus gugur sebagai ksatria sejati di medan tugas. Anoman menyanggupi tugas itu karena ia memang ingin mati sebagai prajurit.Pertarna-tama ia menemui Prabu Sriwahana dan menguraikan tentang maksud para dewa menjodohkan ketiga putra raja Yawastina itu dengan putri-putri Prabu Jayabaya. Prabu Sriwahana menyetujui. Maka berangkatlah Anoman ke Mamenang. Sebenarnya lamaran yang diajukan Anoman untuk ketiga putra raja Yawastina itu diterima oleh Prabu Jayabaya. Namun, sebelum pembicaran itu tuntas, tiba-tiba datanglah Prabu Yaksadewa. Raja raksasa itu ternyata juga akan melamar ketiga putri Prabu Jayabaya.Perkelahian tidak dapat dihindari. Seperti janji para dewa, dalam pertempuran itu Anoman gugur. Menyaksikan peristiwa itu, Prabu Jayabaya marah, dan berhadapan dengan Prabu Yaksadewa.Raja raksasa itu berhasil dikalahkannya, dan berubah ujud menjadi Batara Kala, yang kemudian lari pulang ke tempat kediamannya di Setra Gandamayit.

Dari cerita ini jelas bahwa Anoman, menurut pewayangan, tewas oleh Batara Kala, pada zaman Kerajaan Mamenang, atau Kerajaan Kediri.

Menurut Mahabarata versi Jawa Kuna, yakni pada bagian Tritayatra Parwa, Anoman pernah berjumpa dengan Bima. Waktu itu para Pandawa sedang menjalani pembuangan selama 12 tahun di hutan. Waktu Bima hendak lewat di sebuah jalan sempit di tebing jurang, seekor kera putih sedang berbaring melintang jalan. Dengan sopan Bima minta agar kera putih itu menepi agar ia bisa lewat. Sang Kera Putih menjawab: "Jika aku menghalangi perjalananmu, mengapa bukan kau lompati saja aku, atau engkau singkirkan saja tubuhku ke tepi?" Bima menolak melompati kera itu karena perbuatan itu tidak sopan. Ia pun tidak mau menyingkirkan kera itu, karena itu berarti memaksakan kehendak. Sang Kera lalu mengatakan: "Bila engkau dapat mengangkat ekorku, maka dengan sukarela aku akan menyingkir dari tempat ini."Tanpa banyak bicara Bima mencoba mengangkat ekor kera itu, namun ternyata tidak sanggup, meskipun ia telah mengerahkan segenap kesaktiannya. Kini tahulah Bima bahwa ia berhadapan dengan seekor kera Sakti berilmu tinggi. Karenanya, Bima segera memohon agar diterima sebagai muridnya. Permohonan Bima dipenuhi. Anoman lalu memperkenalkan diri bahwa sebenamya ia dan Bima "saudara Tunggal Bayu". Ia pun memberikan beberapa ilmu pada "saudara Tunggal Bayu"nya itu. Di antara yang diwariskan adalah ilmu mengenai pembagian zaman yang selalu berlangsung di alam dunia ini.

Pembagian zaman di dunia menurut Anoman adalah:Zaman Kreta atau Kretayuga, yakni zaman ke-utamaan yang sempurna. Di dunia hanya ada satu agama, tidak ada kejahatan, belum ada tradisi jual beli, yang ada hanya memberi dan menerima. Setiap manusia menjalankan kewajiban (derma) masing-masing dengan sebaik-baiknya, tanpa ada rasa iri atau sirik pada orang lain. Semua manusia mempunyai kedudukan sama terhadap manusia lainnya.

Zaman Tirta atau Tirtayuga, yakni ketika di dunia ini mulai terdapat orang-orang yang berhati jahat. Seperempat penduduk dunia menjadi orang yang berperilaku dengki, iri dan sutra mengambil yang bukan miliknya. Yang baik hanya tinggal tiga perempat bagian saja. pada zaman ini muncul kebiasaan orang mengadakan sesaji, dan timbul berbagai macam agama. pada zaman Tirta pula dimulai adanya pembagian golongan masyarakat: golongan brahmana, ksatria, waisya, dan sudra.

Zaman Dupara atau Duparayuga, ketika manusia di dunia ini terbagi menjadi dua bagian. Yang separuh menjadi orang jahat dan separuh sisanya tetap baik. Jumlah agama makin banyak, tetapi yang memperhatikan kaidah dan norma agama itu makin sedikit. Banyak orang bertapa dan mencari kesaktian, namun sebagian dari mereka bertujuan buruk. Orang yang ingin berbuat kebaikan makin banyak godaan dan halangannya.

Zaman Kali atau Kaliyuga, yakni zaman di mana keburukan menang atas kebaikan. Golongan manusia yang masih berjalan di jalan keutamaan tinggal seperempat bagian saja. Sisanya sudah menjadi orang jahat. Agama, walaupun makin banyak macamnya, seakan sudah tidak lagi dipedulikan orang. Banyak orang malas, tetapi mereka selalu iri pada keberhasilan orang yang rajin. Orang takut melarat, tetapi tidak berusaha untuk menjadi kaya. Zaman ini adalah zaman ketika usia dunia telah tua, telah mendekati akhir zaman.

Selain itu, Anoman masih banyak memberikan wejangan dan bimbingan kepada Bima mengenai rahasia hidup, dan kehidupan alam. Iapun mengajarkan beberapa ilmu, di antaranya ilmu Sepi Angin.Tetapi selain memberikan ilmu-ilmunya pada Bima, Anoman pun pernah berguru pada Bima. Waktu Bima mengajarkan berbagai ilmu spiritual kepada anak-anak dan keponakannya di Gunung Argakelasa, Anoman pun ikut menjadi muridnya. Waktu itu Anoman menggunakan nama Kapiwara.

Pada seni kriya Wayang Kulit Purwa gaya Surakarta, tokoh Anoman dilukiskan bermata satu (karena dipandang dari satu sisi), sedangkan pada gaya Yogyakarta dan Kedu, bermata dua.Setelah Anoman lanjut usia dan menjadi pertapa di Kendalisada, ia lebih dikenal dengan nama Resi Mayangkara, dan figur wayangnya mengenakan sampir, yakni selendang di bahunya. Dalam Wayang Orang, tokoh Anoman ditarikan oleh seorang penari pria. Ia mengenakan topeng mulut dan hidung, dan berpakaian kaus putih menutupi badan dan tangan serta kakinya.

Semar


 MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.

Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
1. tidak pernah lapar
2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan

kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.

Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.

Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa.
Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.

Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.

Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.

Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.

Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi. (herjaka)
===============

Wikipedia :

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala[rujukan?]. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439[rujukan?].

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa[rujukan?].
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
• Batara Wungkuham
• Batara Surya
• Batara Candra
• Batara Tamburu
• Batara Siwah
• Batara Kuwera
• Batara Yamadipati
• Batara Kamajaya
• Batara Mahyanti
• Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

===========

Sosok Semar adalah penggambaran manusia dan Tuhannya, antara penuh kekurangan dengan kesempurnaan. Semar adalah seorang lelaki karena bagian kepalanya menyerupai laki-laki, namun payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya memiliki kuncung layaknya anak-anak, namun tlah memutih seperti orang tua. Bibirnya slalu tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, namun matanya selalu basah oleh tangis kesedihan. Semar adalah kita, yang sering tertawa namun kerap pula menitikan air mata lara, adakalanya bersikap kekanak-kanakan namun kerap pula bertindak bijaksana. Semar adalah kita, yang dalam diri bersemayam kekurangan, cacat dan jauh dari sempurna. Dan bila kita menyadarinya dan berupaya tuk mengurangi kekurangan dan mengedepankan kebaikan maka Allah Yang Maha Sempurna dapat berkenan meyertai jiwa dan raga kita.

Dewi Arimbi

 

Dewi Arimbi seorang puteri Raksasa, saudara Prabu Arimba, seorang raja raksasa di Pringgadani. Puteri ini dalam mimpi bertemu dengan Raden Bratasena, kesatria Pandawa yang kedua. Setelah puteri ini mencari Raden Bratasena bertemulah waktu Raden Bratasena sedang membuka hutan akan dibuat negeri. Setiba Dewi Arimbi dihadapah Raden Bratasena lalu memeluk kaki Raden Bratasena dan menyatakan kehendaknya. Tetapi Raden Bratasena tak suka, lantaran puteri itu berupa raksasa. Pada waktu itu ibu Raden Bratasena, Dewi Kunti bersabda: “Ah kasihan benar kamu anak cantik”. Sabda Dewi Kunti itu menyebabkan mengubah roman muka Dewi Arimbi jadi secantik-cantiknya. Diperisterilah Dewi Arimbi oleh Raden Bratasena, dan kemudian hari berputralah seorang kesatria Raden Gatotkaca.
Pada umumnya, percintaan seorang dengan puteri, kesatria itu dengan melahirkan pembujuk kata percintaan (Jawa: ngungkung). Tetapi kata Bratasena kepada Dewi Arimbi tak dengan mengumbar puji-pujian namun hanya kata-kata sederhana seperti: alisnya dekat mata, hidungnya di atas mulut, rambutnya di atas kepala, dan dibanting-bantingkan puteri itu di paha Bratasena. Tetapi kata dan tingkah Bratasena ini malahan dapat menarik hati puteri itu. Tingkah laku Bratasena ini hingga mendatangkan kemurkaan keluarga Arimbi. Tetapi kenyataannya, malahan mensukacitakan Arimbi, karena ia tak sekali-kali merasakan sakit dan was-was dalam hatinya malahan senang gembira.
Rasa cinta seorang ibu pada putera telah umum dan dirasa tak berbeda-beda. Tetapi untuk Dewi Arimbi ini lalu terpisah dengan puterandanya, lantaran kesatria prajurit. Tetapi pada suatu masa datanglah Raden Gatotkaca kehadapan ibunya untuk minta dihias bagi keelokan seorang kesatria. Besarlah rasa hati ibu melihat merepek (Jawa: ngadi-adi) putera itu, minta dimandikan, minta dihias dan lain-lainnya.Hal ini kejadian waktu Raden: Gatotkaca jatuh hati pada Dewi Pregiwa, puteri Raden Arjuna. Selama hidup baru sekali itu Raden Gatotkaca tertarik oleh perempuan. Dalam ceritanya keelokan puteri ini lantaran kacaknya (cakrak), karena puteri asal dari gunung. Menurut pandangan Gatotkaca, keelokan Pregiwa itu tertampak serba bersahaja, maka terlihatlah bahwa kecantikan itu wujud yang sewajarnya. Sekalipun Pregiwa asli datang dari gunung tak kalah dengan puteri di negeri Pandawa.
BENTUK WAYANG
Dewi Arimbi sebelum berubah jadi seorang puteri yang cantik, bermata kedondongan, hidung dempak, mulut terbuka, bergigi sebagai raksasa berkalung bulan sabit, bergelang dan berpontoh, sebagai layaknya putri raksasa, tetapi setelah berganti, rupa seorang putri yang cantik, kelihatan secantik-cantiknya.
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Adipati Karna


 
Karna (Sanskerta: कर्ण; Karnna) adalah nama raja Angga yang merupakan tokoh antagonis penting dalam wiracarita Mahabharata. Ia menjadi pendukung utama pihak Korawa dalam perang besar melawan Pandawa. Padahal sesungguhnya, Karna merupakan kakak tertua dari tiga di antara lima Pandawa (Yudistira, Bimasena, dan Arjuna). Dalam bagian akhir perang besar tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak Korawa, di mana ia akhirnya gugur di tangan Arjuna.
Karna merupakan sosok pahlawan yang memiliki sifat-sifat kompleks. Meskipun berada di pihak antagonis, namun ia terkenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Sifatnya angkuh, sombong, suka membanggakan diri, namun juga seorang dermawan yang murah hati kepada siapa saja, terutama fakir miskin dan kaum brahmana. Kesaktiannya yang luar biasa membuat namanya terkenal sepanjang masa dan disebut dengan penuh penghormatan.

Kelahiran

Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan seorang putri bernama Kunti yang pada suatu hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Atas jamuan itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan mendapat anugerah putra darinya.
Pada keesokannya Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit. Akibatnya, dewa penguasa matahari yaitu Surya pun muncul dan siap memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menolak karena ia sebenarnya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan sabda sang dewa, Kunti pun mengandung. Namun Surya juga membantunya segera melahirkan bayi tersebut. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah memulihkan kembali keperawanan Kunti.

Dalam asuhan Adirata

Demi menjaga nama baik negaranya, Kunti yang melahirkan sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang ia beri nama Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru (atau Kerajaan Hastinapura). Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut sebagai anaknya. Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.
Basusena pun diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Adirata, sehingga ia dikenal dengan julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang lebih terkenal adalah Radheya, yang bermakna "anak Radha" (istri Adirata). Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya justru berkeinginan menjadi seorang perwira kerajaan. Adirata pun mendaftarkannya ke dalam perguruan Resi Drona yang saat itu sedang mendidik para Pandawa dan Korawa.
Akan tetapi, Drona menolak menjadikan Radheya sebagai murid karena ia hanya sudi mengajar kaum ksatriya saja. Radheya yang sudah bertekad bulat memutuskan untuk mencari guru lain, dan ia pun menyamar menjadi kaum Brahmana agar mendapatkan pendidikan dari Parasurama. Parasurama adalah guru dari Bhisma dan Guru Drona, jadi, Karna mendapatkan guru yang lebih baik dari Guru Drona. Malangnya, Ia ketahuan berbohong lalu ia dikutuk oleh Parasurama agar ilmu yang diajarkannya tidak berguna lagi untuk Karna.
Dalam bahasa Sanskerta istilah Karna bermakna "telinga". Hal ini mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna lahir melalui telinga Kunti. Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir" atau "terampil". Kiranya nama Karna ini baru dipakai setelah Basusena atau Radheya dewasa dan menguasai ilmu memanah dengan sempurna.

Menjadi raja Angga

Ketika tiba waktunya, Drona mempertunjukkan hasil pendidikan para Pandawa dan Korawa di hadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru. Setelah melaui berbagai tahap pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna (Pandawa nomor tiga) adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah. Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi Krepa selaku pendeta istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat. Mendengar permintaan itu, Karna pun tertunduk malu.
Duryodana (Korawa tertua) maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki oleh kaum ksatriya saja. Namun apabila peraturan mengharuskan demikian, Duryodana memiliki jalan keluar. Ia mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra raja Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga. Dretarastra yang berhati lemah tidak mampu menolak permintaan putra kesayangannya itu. Maka pada hari itu juga, Karna pun resmi dinobatkan menjadi raja Angga.
Adirata muncul menyambut penobatan Karna. Akibatnya, semua orang pun tahu kalau Karna adalah anak Adirata. Melihat hal itu, Bimasena (Pandawa nomor dua) mengejeknya sebagai anak kusir sehingga tidak pantas bertanding melawan Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan. Sekali lagi Duryodana tampil membela Karna.
Suasana semakin tegang dan memanas. Namun tidak seorang pun yang menyadari kalau Kunti jatuh pingsan di bangkunya setelah melihat kehadiran Karna. Kunti langsung mengenalinya sebagai putra sulung yang pernah ia buang dari pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang melekat di tubuh Karna.
Suasana yang menegangkan itu diredakan oleh terbenamnya matahari. Dretarastra membubarkan acara tersebut sehingga pertandingan antara Karna melawan Arjuna pun tertunda. Sejak saat itu dimulailah persahabatan antara Karna dengan Duryodana, pemimpin para Korawa.

Penolakan Dropadi

Dropadi adalah putri Kerajaan Pancala yang kecantikannya membuat banyak raja dan pangeran datang untuk melamar, termasuk Duryodana. Dalam hal ini, Drupada (raja Pancala) telah mengumumkan sebuah sayembara memanah bagi siapa saja yang ingin memperistri putrinya tersebut.
Sayembara tersebut ialah memanah boneka ikan yang berputar di atas arena, namun tidak boleh melihatnya secara langsung, melainkan melalui bayangannya yang terpantul di dalam baskom berisi minyak. Akan tetapi, jangankan membidik boneka tersebut, mengangkat busur pusaka Kerajaan Pancala saja para peserta tidak ada yang sanggup, termasuk Duryodana yang perkasa sekalipun.
Karna kemudian maju setelah sahabatnya itu mengalami kegagalan. Dengan penuh rasa hormat, ia berhasil mengangkat busur pusaka mahaberat itu dan berhasil dengan tepat mengenai sasaran sayembara. Tiba-tiba Dropadi menyatakan keberatan apabila Karna memenangkan sayembara, karena dirinya tidak mau menikah dengan anak seorang kusir. Karna sakit hati mendengarnya. Ia menyebut Dropadi sebagai wanita sombong dan pasti menjadi perawan tua karena tidak ada lagi peserta yang mampu memenangkan sayembara sulit tersebut selain dirinya.
Ucapan Karna membuat Drupada merasa khawatir. Raja Pancala itu pun membuka pendaftaran baru untuk siapa saja yang ingin menikahi Dropadi, tanpa harus berasal dari golongan ksatriya. Arjuna yang saat itu sedang menyamar sebagai brahmana maju mendaftarkan diri. Sayembara tersebut akhirnya berhasil dimenangkan olehnya.

Pembalasan untuk Dropadi

Arjuna kemudian mempersembahkan Dropadi kepada ibunya sebagai oleh-oleh terbaik. Tanpa melihat yang sebenarnya, Kunti langsung memutuskan supaya "oleh-oleh" tersebut dibagi berlima. Akibatnya, kelima Pandawa pun bersama-sama menikahi Dropadi sebagai istri mereka, demi melaksanakan amanat sang ibu.
Beberapa waktu kemudian, para Pandawa berhasil membangun sebuah kerajaan indah bernama Indraprastha yang membuat pihak Korawa merasa iri. Melalui permainan dadu yang sangat licik, mereka berhasil merebut Indraprastha dari tangan Pandawa, termasuk kemerdekaan kelima bersaudara itu. Pada puncaknya, Yudistira (Pandawa tertua) dipaksa mempertaruhkan Dropadi demi melanjutkan permainan. Dropadi akhirnya jatuh pula ke tangan Korawa. Duryodana kemudian menyuruh Dursasana untuk menyeret Dropadi dari kamarnya. Dropadi pun dijambak dan diseret oleh Korawa nomor dua itu menuju ruang permainan.
Karna yang masih menyimpan sakit hati kepada Dropadi mengumumkan bahwa seorang wanita yang bersuami lima tidak pantas disebut sebagai istri, melainkan pelacur. Mendengar penghinaan Karna, Arjuna bersumpah kelak akan membunuhnya. Duryodana pun memerintahkan Dursasana agar menelanjangi Dropadi di depan umum. Namun, berkat pertolongan rahasia dari Sri Kresna, Dropadi berhasil diselamatkan.

Kutukan para brahmana

Karna pernah berguru kepada Parasurama yang juga pernah mengajar Drona. Brahmana gagah berumur panjang tersebut memiliki pengalaman yang buruk dengan kaum ksatriya. Untuk itu, Karna harus menyamar sebagai brahmana muda agar bisa mendekatinya. Dengan cara tersebut Karna berhasil menjadi murid Parasurama.
Pada suatu hari, Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul seekor serangga menggigit paha Karna. Demi menjaga agar Parasurama tidak terbangun, Karna membiarkan pahanya terluka sedangkan dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun dari tidurnya, ia terkejut melihat Karna telah berlumuran darah. Kemampuan Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan dari golongan brahmana, melainkan seorang ksatriya asli.
Merasa telah ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan.
Kutukan kedua diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan menabrak mati seekor sapi milik brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana pun muncul dan mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan terbenam ke dalam lumpur ketika ia berperang melawan musuhnya yang paling hebat.

Pusaka Vasavi shakti atau Konta

Apabila Karna dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka, Arjuna lahir melalui anugerah Dewa Indra. Menyadari kesaktian Karna, Indra merasa cemas kalau Arjuna kelak sampai kalah jika bertanding melawan putra Surya itu. Maka, Indra pun merencanakan merebut baju pusaka Karna dengan menyamar sebagai seorang pendeta. Konon, jika mengenakan pakaian pusaka tersebut, Karna tidak mempan terhadap senjata jenis apa pun.
Rencana Indra terdengar oleh Surya. Ia pun memberi tahu Karna. Namun Karna sama sekali tidak risau. Ia telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun yang diminta oleh orang lain pasti akan dikabulkannya.
Indra yang menyamar sebagai seorang resi tua datang menemui Karna saat sedang sendirian. Ia meminta sedekah berupa baju perang dan anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Indra terharu menerimanya. Ia pun membuka samaran dan memberikan pusaka Indrastra baru berupa Vasavi shakti atau Konta (yang bermakna "tombak") sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun, pusaka Konta hanya bisa digunakan sekali saja, setelah itu ia akan musnah.

Terbukanya jati diri

Setelah masa hukuman atas kekalahan dalam permainan dadu berakhir, para Pandawa pun muncul kembali untuk mendapatkan hak mereka atas Kerajaan Indraprastha. Pihak Korawa menolak dan memaksa Pandawa merebutnya dengan jalan perang. Pandawa pun mengirim Kresna sebagai duta menuju Hastinapura. Dalam kesempatan itu, Kresna menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan bahwa Karna dan para Pandawa sebenarnya adalah saudara seibu. Apabila Karna bergabung dengan Pandawa, tentu Yudistira akan merelakan takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat terkejut mendengar jati dirinya terungkap. Ia menghadapi dilema yang sangat besar. Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada pendiriannya yaitu membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana yang telah memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
Setelah pertemuan dengan Kresna, esok harinya Karna bertemu dengan Kunti. Kunti menemui putra sulungnya itu saat bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna supaya mau memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna kembali bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu membuangnya sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia menolak bergabung dengan pihak Pandawa dan tetap menganggap Radha sebagai ibu sejatinya. Meskipun demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang kelak, ia tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.

Perselisihan dengan Bi

sma

Perang besar antara kedua pihak tersebut akhirnya meletus. Pihak Korawa memilih Bisma (bangsawan senior Hastinapura) sebagai panglima mereka. Terjadi pertengkaran di mana Bisma menolak Karna berada di dalam pasukannya, dengan alasan Karna terlalu sombong dan suka meremehkan kekuatan Pandawa. Sebaliknya, Karna pun bersumpah tidak sudi ikut berperang apabila pasukan Korawa masih dipimpin oleh Bisma.
Bisma akhirnya roboh pada pertempuran hari kesepuluh. Tokoh tua itu terbaring di atas ratusan panah yang menembus tubuhnya. Karna muncul melupakan semua dendam untuk menyampaikan rasa prihatin. Bisma mengaku bahwa ia hanya pura-pura mengusir Karna supaya tidak bertempur melawan Pandawa. Bisma mengetahui jati diri Karna sebagai kakak para Pandawa setelah diberi tahu oleh Narada (maharesi kahyangan). Seperti halnya Kresna dan Kunti, Bisma juga menyarankan supaya Karna bergabung dengan para Pandawa. Namun sekali lagi Karna menolak saran tersebut.

Pertempuran melawan Gatotkaca

Kehadiran Karna sejak hari kesebelas segera membangkitkan semangat pihak Korawa. Ia menyarankan agar Duryodana memilih Drona sebagai pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru sebagian besar sekutu Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para pendukung Korawa memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.
Karna tampil dalam perang besar tersebut sebagai pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam, perang tetap terjadi tanpa dihentikan sehingga melanggar aturan yang telah disepakati. Duryodana menderita luka parah saat menghadapi Gatotkaca putra Bimasena. Ia pun mendesak Karna supaya menggunakan pusaka Vasavi shakti atau Konta untuk membunuh Gatotkaca. Karena terus didesak, Karna pun melepaskan Konta dan menewaskan Gatotkaca.
Sesuai janji Indra, Shakti Konta pun musnah hanya dalam sekali penggunaan. Kresna selaku penasihat pihak Pandawa merasa senang karena dengan demikian, nyawa Arjuna bisa terselamatkan. Ia mengetahui kalau selama ini Karna mempersiapkan Shakti Konta untuk membunuh Arjuna.

Menjadi panglima pasukan Korawa

Setelah Drona gugur pada hari kelima belas, Duryodana menunjuk Karna sebagai panglima yang baru. Karna maju perang dengan Salya raja Madra sebagai kusir keretanya, dengan harapan bisa mengimbangi Arjuna yang dikusiri Kresna. Salya sendiri sakit hati karena merasa direndahkan oleh Karna. Sambil mengemudikan kereta ia gencar memuji-muji kesaktian Arjuna untuk menakut-nakuti Karna.
Pada hari keenam belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna kemudian bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama lain. Ketika Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra, diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya sehingga panah pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna. Pertempuran tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya matahari.

Pertempuran terakhir

Pada hari ketujuh belas, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama, kutukan atas diri Karna pun menjadi kenyataan. Ketika Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati, salah satu roda keretanya terperosok ke dalam lumpur sampai terbenam setengahnya. Karna tidak peduli, ia pun membaca mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi Pasupati. Namun, kutukan kedua juga menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa terhadap semua ilmu yang pernah ia pelajari dari Parasurama.
Karna meminta Arjuna untuk menahan diri sementara ia turun untuk mendorong keretanya agar kembali berjalan normal. Pada saat itulah Kresna mendesak agar Arjuna segera membunuh Karna karena ini adalah kesempatan terbaik. Arjuna ragu-ragu karena saat itu Karna sedang lengah dan berada di bawah. Kresna mengingatkan Arjuna bahwa Karna sebelumnya juga berlaku curang karena ikut mengeroyok Abimanyu sampai mati pada hari ketiga belas.
Teringat pada kematian putranya yang tragis tersebut, Arjuna pun melepaskan panah Pasupati yang melesat memenggal kepala Karna. Karna pun tewas seketika.